NAMORA PANDE BOSI
(SILANGKITANG & SIBAITANG)
BAGIAN 2
Dikemudian
hari setelah ayahanda mereka Namora Pande Bosi dan Ibundanya Puteri Lenggana
boru Dalimunte meninggal dunia. Sutan Bugis dan Sutan Borayun pindah ke Lobu
Layan kemudian mereka mendirikan kerajaan di tempat ini. Tetapi pada generasi
selanjutnya keturunannya diserang oleh kerajaan-kerajaan disekitarnya dan
sebagian keturunannya pergi ke daerah Barus manjadi marga Lubis di tempat ini. Dan
sebagian lagi pergi ke guluan Gajah (Kerajaan marga Siregar) di daerah Sipirok dank
e Portibi di daerah Padang Bolak. Di Guluan Gajah mereka diterima oleh Raja
Hatunggal, yaitu yang menurunkan marga Siregar di daerah Muara Sipirok, dan
memberikan tempat di bagian sudut dari kerajaan ini dan lama-kelamaan kelompok
mereka ini menjadi marga “Hutasuhut”. Kelompok yang sebagian lagi atau yang
pergi ke Portibi di daerah Padang Bolak, mereka ini menempati sekitar candid an
lama-kelamaan menjadi marga Harahap. Diduga di belakang hari kelompok ini
terdeak oleh serangan pasukan Majapahit sekitar abad ke XIV, lalu sebagian dari
mereka pergi ke daerah Mandailing dan menamakan diri endiri dengan marga “Tambak”,
dalam bahasa Mandailing artinya = tempat penyembahan (candi). Kemudian menurut
ceritanya kelompok ini lama-kelamaan menjadi marga “Harahap Mataniari” di
Mandailing. Selain dari pada itu kelompok yang lain yang datang ke daerah
Mandailing pada zaman itu turut juga marga “Dasopang”, tetapi lama-kelamaan marga
inipun dikemudian hari menjadi marga “Hasibuan”. Barangkali nkelompok-kelompok
ini merobah nama marganya adalah karena takut diketahui oleh pasukan Majapahit
tersebut diatas. Kedua keompok marga-marga inilah menurut ceritanya yang
mengangkat atau menobatkan Si Baroar Nasakti (Nenek Moyang Marga Nasution) di
Panyabungan Tonga menjadi raja ditempat itu pada zaman dahulu kala. Terbukti pula
dari nama “Harajaon” Si Baroar Nasakti ialah “Sutan Diaru”. Mungkin mereka ini
menamakan SI Baroar “Sutan Diaru” adalah untuk mengenang kerajaan mereka yang
bernama kerajaan “Aru” yang sudah hancur di Padang Bolak (Padang Lawas).
Demikian
pulaSi Langkitang dan Si Baitang yang mematuhi petunjuk (petuah) dari
ayahandanya Namora Pande Bosi yang pergi ke Mandailing dari daerah Angkola,
dengan menelusuri sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis, maka sampailah
mereka berdua pada suatu tempat dimana dua buah anak sungai yang bertentangan muaranya.
Oleh sebab itulah nama permukiman ini (dalam bahasa Mandailing) disebut “Muara
Patontang” dan pemukiman ini disebut juga “Singengu” oleh karena kebetulan
letaknya di muara sungai Singengu. Kemudian sekitar 5 Km arah ke hulu dari
sungai Batang Gadis ini terdapat pula permukiman adiknya SI Baitang yang
bernama “Muara Partomuan” , juga di tempat ini didapat pula seperti pada
permukiman abangnya yakni terletak diantara dua buah sungai yang bertentangan
muaranya yaitu sungai Ulu Pungkut dan anak sungai Aek Sampuran.
Di
belakang hari sekitar abad ke XIV salah seorang cucunya bernama Namora Raya,
yakni sundut ke V dari Si Langkitang atau keturunan ke XI dari atas diutus oleh
ayahandanya Jabuek Nangge dari kerajaan Singengu, untuk mengamankan daerah
Mandailing Godang dari kekacauan-kekacauan memperebutkan wilayah. Sesampainya
Namora Raya ke tempat itu tempatnya di Pagaran Singkut atau Aruaya Sampean
Roburan Tua dekat perkampungan Sirambas yang sekarang, dimana pada saat itu
berkebetulan sedang berkecamuknya peperangan yang “marrugup-rugup” (peperangan
yang dahsyat) antara kelompok Si Baroar Nasakti melawan pasukan kerajaan Sutan
Pulungan (yang menurunkan marga Pulungan) dari Huta Bargot. Peperangan yang
paling dahyat yang pernah terjadi di daerah Mandailing telah mengambil korban
yang tiada terhingga. Oleh sebab itulah barangkali Namora Raya cepat-cepat
turun tangan untuk mendamaikan peperangan ini, agar korban yang jatuh tidak
bertambah lagi. Akhirnya kedua kelompok yang berperang mengadakan suatu semacam
case fair atau semacam gencatan senjata. Pada saat ini pulalah Namora Raya
menjalankan diplomasinya untuk mengumpulkan semua raja-raja yang berkuasanpada
saat itu di daerah Mandailing, untuk menciptakan dan mengesahkan suatu adat-istiadat
Mandailing yang bernama adat “Markoum Marsisolkot”. Markoum artinya berkaum
kerabat dengan orang yang berlainan marga, sedangkan Marsisolkot artinya
mendekatkan yang sudah dekat atau kasih mengasihi diantara yang satu marga. Dengan
adat-istiadat Markoum Marsisolkot inilah sebagai” alat pemersatu” yang paling
ampuh untuk mendamaikan diantara yang bersengketa pada seluruh lapisan
masyarakat, termasuk pertikaian antara kelompok Si Baroar Nasakti dengan
kerajaan Sutan Pulungan pada zaman dahulu kala.
Bila
kita perhatikan hiasan-hiasan rumah adat dari daerah Mandailing, maka pada
bagian atanya akan terukir 13 macam lambing dalam figura segi tiga sama sisi
yang disebut dengan “bindu Matogu”. Semua lambing-lambnag tersebut mempunyai
arti dan makna tersendiri. Sebagai figura yang melingkari semua lambang-lambang
tersebut yang berbentuk segi-segi sama sisi adalah melambangkan adat-istiadat “
Markoum Marsisolkot”. Maksudnya terdiri dari tiga kelompok yang berlainan marga
rangkul-merangkul atau harus pada seia sekata menjadi satu. Ketiga komponen
kelompok yang berlainan marga itu adalah sebagai berikut :
1. KAHANGGI
2. MORA
3. ANAK
BORU
Kahanggi
:
Yang
dikatakan komponen kelompok Kahanggi adalah kita sendiri dengan saudara-saudara
kita baik yang terdiri dari satu ibu dan satu bapak atau tidak, tetapi haruslah
dari kelompok yang satu marga.
Mora
Yang
dikatakan komponen kelompok Mora adalah dari kelompok tempat pengambilan anak
gadis dalam perkawinan, atau orang tua dan saudara-saudara dari pihak istri
kita.
Anak
Boru
Yang
dikatakan kelompok komponen Anak Boru adalah tempat pemberian anak-anak gadis
kita dalam pekawinan, atau pihak orang-orang tua dan saudara-saudara dari pihak
istri kita.
Sumber : Buku "Sejarah Marga-Marga", Oleh Prof.
Dr. HARUN RASYID LUBIS (Seorang Guru Besar di Universitas Sumatera Utara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar