Selasa, 07 Mei 2019

NAMORA PANDE BOSI (SILANGKITANG & SIBAITANG) BAGIAN 3

NAMORA PANDE BOSI
(SILANGKITANG & SIBAITANG)

BAGIAN 3



Dari ketiga kelompok inilah yang disebut dalam adat-istiadat Mandailing dengan adat “Markoum Marsisolkot”. Oleh karena apabila salah satu diantaranya tidak diikut sertakan dalam sesuatu mengadakan upacara adat Mandailing, maka upacara adat tersebut tidak akan tercapai atau terlaksana. Dengan Perkataan lain akan batal sama sekali. Oleh sebab itulah ketiga kelompok ini dituntut dan diwajibkan agar selalu rukun dan damai dan menjauhi segala sesuatu yang mengakibatkan pertikaian, dan selalu tolong menolong dalam segala sesuatu permasalahan.
Dikemudian hari adat-istiadat “Markoum Marsisolkot” ini disebut orang juga dengan adat “Dalihan Na tolu”, dan bila diterjemahkan bebas ke bahasa Indonesia artinya : Dalihan =Batu Tungku, Na Tolu = Yang Tiga. Maksudnya tungku yang tiga (tiga batu tungku), dan dapat pula diartikan tiga batu tungku sejerangan menjungjung satu wadah atau lembaga adat-istiadat Mandailing Natal yang bernama adat Markoum Marsisolkot”.
Setelah Namora Raya Mengumpulkan seluruh raja-raja Mandailing di Aruaya Sampean Roburan Tua, kemudian setelah mereka menciptakan dan meresmikan adat-istiadat Mandailing yang mereka namai dengan adat “Markoum Marsisolkot”, maka dipakaikanlah kepada si Baroar Naakti (yang menurunkan marga Nasution) sebagai pemakai yang pertama adat istiadat markoum marsisolkot tersebut. Seperti diketahui dimana sebelumnya Namora Raya dalam menjalankan diplomasinya untuk meredakan dan menghapuskan pertikaian antara Sutan pulungan dengan Si Baroar Nasakti, Namora Raya telah memohon kepada Sutan Pulungan agar anak gadisnya yang bernama puteri Rumondang Bulan dijadikan permaisuri Si Baroar Nasakti.
Meskipun pada mulanya Sutan Pulungan merasa berat hati untuk memberikan anak gadisnya tersebut menjadi permaisuri Si Baroar Nasakti, apalagi peperangan yang “marrugup-rugup” (peperangan yang dahsyat) baru saja usai dan darah para korban belum sempat kering. Tetapi dengan bujukan dan pengarahan dari Namora Raya akhirnya Sutan Pulungan mengabulkannya juga, dengan syarat puteri Rumondang Bulan anak gadisnya dibawa dahulu ke tempat Nakora Raya di Aruaya Sampean Roburan Tua, dan dari sanalah “dipabuat” maksudnya dari tempat Namora Rayalah diresmikan adat-istiadatnya. Setelah itu barulah kemudian puteri Rumondang Bulan dijemput oleh Si Baroar Nasakti dengan adat istiadat pula untuk dibawa ke istananya di Panyabungan Tonga.
Kemudian diulangilah kembali “pataonkon” (mengundang) seluruh kerajaan bersama dengan handai tolan, untuk meresmikan perkawinan ini dengan sangat meriah dalam bentuk tatakrama adat-istiadat Mandailing “Markoum Marsisolkot”, sekaligus untuk meresmikan kerajaan Si Baroar Nasakti dengan nama “harajaon” (gelar) “Sutan Diaru”. Dengan demikian resmilah sudah kerajaan Si Baroar Nasakti gelar Sutan Diaru (yang menurunkan marga Nasution Godang) di Panyabungan Tonga. Kecuali Sutan Pulungan raja kerajaan Huta Bargot tidak dapat datang menghadiri perayaan besar tersebut, oleh karena masih “Mardangol (berduka cita) atas korban-korban yang banyak diderita oleh pasukannya. Sehingga mulai dari saat itu pihak “Mora” terutama dari pihak orang tua si anak gadis “marpantang” (terlarang) untuk datang menghadiri upacara perkawinan anak gadisnya ke tempat “ANak Boru” nya.
Dengan peresmian upacara perkawinan yang pertama menurut adat istiadat Mandailing “Markoum Marsisolkot” ini, maka Si Baroar Nasakti gelar Sutan Diaru harus menghormati memuliakan “Mora” nya Sutan Pulungan. Demikian pula dengan Sutan pulungan harus menyayangi dan menghormati “Anak Boru” nya sesuai dengan fungsinya, apalagi dari golongan yang mempunyai kedudukan di masyarakat yang disebut dengan “Anak Boru Haholongan” na marsoit marbulele dohot na marjambang mareor-eor (maksudnya : yang mempunyai tahta/kedudukan).

Sumber : Buku "Sejarah Marga-Marga", Oleh Prof. Dr. HARUN RASYID LUBIS (Seorang Guru Besar di Universitas Sumatera Utara)
BERSAMBUNG ……..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar