NAMORA PANDE BOSI
(SILANGKITANG & SIBAITANG)
BAGIAN 3
Dari
ketiga kelompok inilah yang disebut dalam adat-istiadat Mandailing dengan adat
“Markoum Marsisolkot”. Oleh karena apabila salah satu diantaranya tidak diikut
sertakan dalam sesuatu mengadakan upacara adat Mandailing, maka upacara adat
tersebut tidak akan tercapai atau terlaksana. Dengan Perkataan lain akan batal
sama sekali. Oleh sebab itulah ketiga kelompok ini dituntut dan diwajibkan agar
selalu rukun dan damai dan menjauhi segala sesuatu yang mengakibatkan
pertikaian, dan selalu tolong menolong dalam segala sesuatu permasalahan.
Dikemudian
hari adat-istiadat “Markoum Marsisolkot” ini disebut orang juga dengan adat
“Dalihan Na tolu”, dan bila diterjemahkan bebas ke bahasa Indonesia artinya :
Dalihan =Batu Tungku, Na Tolu = Yang Tiga. Maksudnya tungku yang tiga (tiga
batu tungku), dan dapat pula diartikan tiga batu tungku sejerangan menjungjung
satu wadah atau lembaga adat-istiadat Mandailing Natal yang bernama adat
Markoum Marsisolkot”.
Setelah
Namora Raya Mengumpulkan seluruh raja-raja Mandailing di Aruaya Sampean Roburan
Tua, kemudian setelah mereka menciptakan dan meresmikan adat-istiadat
Mandailing yang mereka namai dengan adat “Markoum Marsisolkot”, maka
dipakaikanlah kepada si Baroar Naakti (yang menurunkan marga Nasution) sebagai
pemakai yang pertama adat istiadat markoum marsisolkot tersebut. Seperti
diketahui dimana sebelumnya Namora Raya dalam menjalankan diplomasinya untuk
meredakan dan menghapuskan pertikaian antara Sutan pulungan dengan Si Baroar
Nasakti, Namora Raya telah memohon kepada Sutan Pulungan agar anak gadisnya
yang bernama puteri Rumondang Bulan dijadikan permaisuri Si Baroar Nasakti.
Meskipun
pada mulanya Sutan Pulungan merasa berat hati untuk memberikan anak gadisnya
tersebut menjadi permaisuri Si Baroar Nasakti, apalagi peperangan yang
“marrugup-rugup” (peperangan yang dahsyat) baru saja usai dan darah para korban
belum sempat kering. Tetapi dengan bujukan dan pengarahan dari Namora Raya
akhirnya Sutan Pulungan mengabulkannya juga, dengan syarat puteri Rumondang
Bulan anak gadisnya dibawa dahulu ke tempat Nakora Raya di Aruaya Sampean
Roburan Tua, dan dari sanalah “dipabuat” maksudnya dari tempat Namora Rayalah
diresmikan adat-istiadatnya. Setelah itu barulah kemudian puteri Rumondang
Bulan dijemput oleh Si Baroar Nasakti dengan adat istiadat pula untuk dibawa ke
istananya di Panyabungan Tonga.
Kemudian
diulangilah kembali “pataonkon” (mengundang) seluruh kerajaan bersama dengan
handai tolan, untuk meresmikan perkawinan ini dengan sangat meriah dalam bentuk
tatakrama adat-istiadat Mandailing “Markoum Marsisolkot”, sekaligus untuk
meresmikan kerajaan Si Baroar Nasakti dengan nama “harajaon” (gelar) “Sutan
Diaru”. Dengan demikian resmilah sudah kerajaan Si Baroar Nasakti gelar Sutan
Diaru (yang menurunkan marga Nasution Godang) di Panyabungan Tonga. Kecuali
Sutan Pulungan raja kerajaan Huta Bargot tidak dapat datang menghadiri perayaan
besar tersebut, oleh karena masih “Mardangol (berduka cita) atas korban-korban
yang banyak diderita oleh pasukannya. Sehingga mulai dari saat itu pihak “Mora”
terutama dari pihak orang tua si anak gadis “marpantang” (terlarang) untuk
datang menghadiri upacara perkawinan anak gadisnya ke tempat “ANak Boru” nya.
Dengan
peresmian upacara perkawinan yang pertama menurut adat istiadat Mandailing “Markoum
Marsisolkot” ini, maka Si Baroar Nasakti gelar Sutan Diaru harus menghormati
memuliakan “Mora” nya Sutan Pulungan. Demikian pula dengan Sutan pulungan harus
menyayangi dan menghormati “Anak Boru” nya sesuai dengan fungsinya, apalagi
dari golongan yang mempunyai kedudukan di masyarakat yang disebut dengan “Anak
Boru Haholongan” na marsoit marbulele dohot na marjambang mareor-eor (maksudnya
: yang mempunyai tahta/kedudukan).
Sumber : Buku "Sejarah Marga-Marga", Oleh Prof.
Dr. HARUN RASYID LUBIS (Seorang Guru Besar di Universitas Sumatera Utara)
BERSAMBUNG
……..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar