NAMORA PANDE BOSI
(SILANGKITANG & SIBAITANG)
Semenjak
dari zaman dahulu kala masyarakat Mandailing terutama yang bermarga Lubis baik
keturunan Lubis Muara Patontang (Lubis Singengu) maupun keturunan Lubis Muara
Partomuan (Lubis Singasoro), telah mengakui dan menyakini bahwa nenek moyang
mereka bernama Daeng Malela gelar Namora Pande Bosi. Dimana menurut ceritanya
nenek moyang ini berasal dari tanah Bugis Sulawei Selatan.
Ditaksir
sekitar abad ke X dua orang bersaudara berlayar dari daerah tersebut untuk
mencari pengalaman menuju ke Negeri Cina tetapi malang bagi salah seorang
diantaranya yang bernama Angin Bugis tidak dapat melanjutkan pelayarannya
karena dihadang oleh topan yang sangat besar, sehingga terdampar ke daerah
Palembang, setelah perahu mereka kembali mengutara beberapa hari mungkin karena
satu dan lain hal kemudian mereka memasuki sungai Barumun. Diduga nenek moyang
ini adalah seorang perantau yang berhati keras, yaitu dari pada surut kembali
pulang ke Kampung Halaman sebelum cita-citanya tercapai lebih baik berkubur
ditengah lautan. Akan tetapi nenek moyang yang satu ini mengambil kesimpulan lain,
dimana pada saat-saat perahunya tidak memungkinkan lagi dapat mengarungi lautan
lepas lalu membelokkan kemudinya memasuki pedalaman Padang Bolak (Padang
Lawas). Pada ketika itu hanya sengai Barumun inilah satu-satunya sungai sungai
sebagai urat nadi perhubungan di daerah itu, yang dapat dilayari samapi ke
Huristak. Binanga dan Portibi di Gunung Tua. Bahkan pada zaman itu dapat pula
dilayari sampai ke Hutapanopan dekat kota Sibuhuan yang sekarang.
Di
hutapanopan (sekarang bernama Hutanopan) sebagai pemukiman pertama dari Angin
Bugis” untuk mengembangkan keturunannya. Terbukti dari namanya “Hutapanopan”
dalam bahasa Mandailing (Huta=Kampung), sedangkan “panopan” (=menempa besi). Jadi
“Huta (kampong tempat menempa besi), sedangkan orang yang mengerjakannya
disebut “Pande Bosi”. Pada generasi ke tiga dari Angin Bugis yakni cucunya yang
bernama Daeng Surya gelar Namora Pande Bosi I, kemudian pindah ke Ruar Tonga
masih dalam lingkungan Padang Bolak. Diduga perpindahan mereka ini atas desakan
dari suku Munda yang dating dari India Selatan untuk mengembangkan agama Hindu.
Terbukti dari peninggalan mereka berupa candi-candi purba yang banyak terdapat
di daerah ini. Dan menurut ceritanya Namora Pande Bosi I ini sangat terkenal
oleh karena kepandaiannya membuat ukir-ukiran dari bahan besi. Oleh sebab
itulah barangkali nenek moyang ini dijulu “Namora”, yakni sebuah nama
penghormatan yang diberikan kepada seorang yang dimuliakan, misalnya seperti
Profesor atau Doktor pada zaman sekarang. Akhirnya beliau bernama “Namora Pande
Bosi”, yang dapat dibuktikan pula dengan peninggalan karyanya yakni sebuah
patung yang sangat indah dan terbuat dari bahan tembaga. Dan menurut ceritanya
pada zaman dahulu kala patung ini ditempatkan pada sebuah candi di Portibi,
untuk disembah oleh penganut ummat Hindu pada waktu itu. Kini patung tersebut
masih dipelihara dengan baik di Museum Pusat Jakarta.
Setelah
Daeng Surya gelar Namora Pande Bosi I ini hidup berkembang di Ruar Tonga Padang
Bolak, kemudian hari salah seorang cucu dari cucunya yang bernama Daeng Malela
gelar Namora Pande Bosi ke III muncul di kerajaan Dalimunte di Sigalangan
ANgkola, kemudian menjadi menantu dari kerajaan tersebut setelah mengawini
puteri Lenggana boru Dalimunte, yakni puteri raja Isori Dalimunte sebagai raja
yang pertama dikerajaan tersebut. Setelah beberapa lama kemudian lahir pulalah
puteranya laki-laki, yang pertama bernama Sutan Bugis dan yang kedua bernama
Sutan Borayun. Tetapi yang patut di ingatkan dan diketahui sebelumnya ialah,
bahwa Namora Pande Bosi ini semasih berada di Ruar Tonga telah mengawini
seorang gadis yang bernama “Dayang Surto Alus Bonang Nabontar”, puteri dari
Datuk Bondaro Lobi dengan isterinya Dayang Rante Omas. Dari hasil perkawinan
ini mereka telah dikaruniai Tuhan dengan dua orang anak laki-laki kembar, yang
pertama bernama Si “Langkitang” dan yang kedua bernama Si “Baitang”, setelah
menjelang dewasa keduanya diutus oleh Namora Pande Bosi ayahandanya pergi ke
Mandailing dan kemudian menurunkan marga Lubis Mura Patontang (Lubis ingengu) dan
marga Lubis Muara Partomuan (Lubis Singasoro), di tempat itu seperti awal dari
cerita ini.
Sumber : Buku "Sejarah Marga-Marga", Oleh Prof. Dr. HARUN RASYID LUBIS (Seorang Guru Besar di Universitas Sumatera Utara)
BERSAMBUNG ……..
Sumber : Buku "Sejarah Marga-Marga", Oleh Prof. Dr. HARUN RASYID LUBIS (Seorang Guru Besar di Universitas Sumatera Utara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar