Minggu, 05 Mei 2019

NAMORA PENDE BOSI (SILANGKITANG & SIBAITANG)


NAMORA PANDE BOSI
(SILANGKITANG & SIBAITANG)


Semenjak dari zaman dahulu kala masyarakat Mandailing terutama yang bermarga Lubis baik keturunan Lubis Muara Patontang (Lubis Singengu) maupun keturunan Lubis Muara Partomuan (Lubis Singasoro), telah mengakui dan menyakini bahwa nenek moyang mereka bernama Daeng Malela gelar Namora Pande Bosi. Dimana menurut ceritanya nenek moyang ini berasal dari tanah Bugis Sulawei Selatan.
Ditaksir sekitar abad ke X dua orang bersaudara berlayar dari daerah tersebut untuk mencari pengalaman menuju ke Negeri Cina tetapi malang bagi salah seorang diantaranya yang bernama Angin Bugis tidak dapat melanjutkan pelayarannya karena dihadang oleh topan yang sangat besar, sehingga terdampar ke daerah Palembang, setelah perahu mereka kembali mengutara beberapa hari mungkin karena satu dan lain hal kemudian mereka memasuki sungai Barumun. Diduga nenek moyang ini adalah seorang perantau yang berhati keras, yaitu dari pada surut kembali pulang ke Kampung Halaman sebelum cita-citanya tercapai lebih baik berkubur ditengah lautan. Akan tetapi nenek moyang yang satu ini mengambil kesimpulan lain, dimana pada saat-saat perahunya tidak memungkinkan lagi dapat mengarungi lautan lepas lalu membelokkan kemudinya memasuki pedalaman Padang Bolak (Padang Lawas). Pada ketika itu hanya sengai Barumun inilah satu-satunya sungai sungai sebagai urat nadi perhubungan di daerah itu, yang dapat dilayari samapi ke Huristak. Binanga dan Portibi di Gunung Tua. Bahkan pada zaman itu dapat pula dilayari sampai ke Hutapanopan dekat kota Sibuhuan yang sekarang.
Di hutapanopan (sekarang bernama Hutanopan) sebagai pemukiman pertama dari Angin Bugis” untuk mengembangkan keturunannya. Terbukti dari namanya “Hutapanopan” dalam bahasa Mandailing (Huta=Kampung), sedangkan “panopan” (=menempa besi). Jadi “Huta (kampong tempat menempa besi), sedangkan orang yang mengerjakannya disebut “Pande Bosi”. Pada generasi ke tiga dari Angin Bugis yakni cucunya yang bernama Daeng Surya gelar Namora Pande Bosi I, kemudian pindah ke Ruar Tonga masih dalam lingkungan Padang Bolak. Diduga perpindahan mereka ini atas desakan dari suku Munda yang dating dari India Selatan untuk mengembangkan agama Hindu. Terbukti dari peninggalan mereka berupa candi-candi purba yang banyak terdapat di daerah ini. Dan menurut ceritanya Namora Pande Bosi I ini sangat terkenal oleh karena kepandaiannya membuat ukir-ukiran dari bahan besi. Oleh sebab itulah barangkali nenek moyang ini dijulu “Namora”, yakni sebuah nama penghormatan yang diberikan kepada seorang yang dimuliakan, misalnya seperti Profesor atau Doktor pada zaman sekarang. Akhirnya beliau bernama “Namora Pande Bosi”, yang dapat dibuktikan pula dengan peninggalan karyanya yakni sebuah patung yang sangat indah dan terbuat dari bahan tembaga. Dan menurut ceritanya pada zaman dahulu kala patung ini ditempatkan pada sebuah candi di Portibi, untuk disembah oleh penganut ummat Hindu pada waktu itu. Kini patung tersebut masih dipelihara dengan baik di Museum Pusat Jakarta.
Setelah Daeng Surya gelar Namora Pande Bosi I ini hidup berkembang di Ruar Tonga Padang Bolak, kemudian hari salah seorang cucu dari cucunya yang bernama Daeng Malela gelar Namora Pande Bosi ke III muncul di kerajaan Dalimunte di Sigalangan ANgkola, kemudian menjadi menantu dari kerajaan tersebut setelah mengawini puteri Lenggana boru Dalimunte, yakni puteri raja Isori Dalimunte sebagai raja yang pertama dikerajaan tersebut. Setelah beberapa lama kemudian lahir pulalah puteranya laki-laki, yang pertama bernama Sutan Bugis dan yang kedua bernama Sutan Borayun. Tetapi yang patut di ingatkan dan diketahui sebelumnya ialah, bahwa Namora Pande Bosi ini semasih berada di Ruar Tonga telah mengawini seorang gadis yang bernama “Dayang Surto Alus Bonang Nabontar”, puteri dari Datuk Bondaro Lobi dengan isterinya Dayang Rante Omas. Dari hasil perkawinan ini mereka telah dikaruniai Tuhan dengan dua orang anak laki-laki kembar, yang pertama bernama Si “Langkitang” dan yang kedua bernama Si “Baitang”, setelah menjelang dewasa keduanya diutus oleh Namora Pande Bosi ayahandanya pergi ke Mandailing dan kemudian menurunkan marga Lubis Mura Patontang (Lubis ingengu) dan marga Lubis Muara Partomuan (Lubis Singasoro), di tempat itu seperti awal dari cerita ini.

Sumber : Buku "Sejarah Marga-Marga", Oleh Prof. Dr. HARUN RASYID LUBIS (Seorang Guru Besar di Universitas Sumatera Utara)

BERSAMBUNG ……..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar