Sabtu, 28 September 2019

ASAL MULA NAMA MANDAILING BAGIAN 3


ASAL MULA NAMA MANDAILING
BAGIAN 3

Tonggo-tonggo Siboru Deakparujar

Palulah gendang dari Empu kita. Tuan Humara-Humari Si Humara Perempuan, per-aji tambah tua, per-aji ramu-ramuan; suami dari Empu kita Sibaso Nabolon, yang bergantung pada tali siubar, yang hinggap di mombang boru. Dari tanah lembah, tanah kelabu sejati, dari tanah padang bakil mandailing, tanah yang termasyur, bagaikan suara yang merdu, perpisahan daripada tanah, pertemuan daripada air : dari situlang tangga jalan ke atas, perturunan daripada empu kita : Debata Na Tiga, Nan Tiga Segi, nan Empat Kerajaan, ke benua tengah ini. Disitulah bertamasya Empu kita Siboru Deakparujar, yang banyak cerdik yang banyak akal :

1.      Yang mengamanatkan tidak boleh makan sumpah, tidak boleh mengingkari ikrar.
2.      Asal mula                             :  Keperkasaan
3.      Asal mula                             :  Sahala
4.      Asal mula                             :  Kerajaan
5.      Asal mula                             :  Gantang pengukuran, dacing kebenaran
6.      Asal mula                             :  Batu-asahan satu seikat
7.      Asal mula                             :  Bajak bagai pembelah tali
8.      Dari situlah asal mula          : Penerimaan beli atas perkawinan anak perempuan dan pembayaran jujuran bagi perkawinan anak laki-laki.
9.      Asal mula                             :  Nama besan yang tak boleh disebut
10.  Hal itu telah diwakilkan       :  Pada kuda-kuda rumah batak asli, dipacakkar dibatu berani dan di kuping kuda Dewata

Berdasarkan tongga-tongga (doa) tersebut, jelaslah bahwa sejak dari zaman dahulu kala sejak adanya tokoh mitologi Siboru Deakparujar, orang Toba (Batak) telah mengakui kemasyuran tanah Mandailing, bahkan lebih penting lagi dari pada itu, tongga-tongga Siboru Deakparujar dengan jelas menyebutkan pula bahwa tanah Mandailing merupakan tempat tangga jalan ke atas (Kayangan), dan menjadi tempat turun Dewa ( Debata, Nan Tiga) Nan Tiga Segi, Nan Empat Kerajaan, ke benua tengah (bumi) ini.

Dalam usahanya menempa bumi, Siboru Deakparujar mendapat gangguan dari Naga Padoha (Raja Padoha), tetapi akhirnya dia berhasil menyelesaikan tugasnya itu. Kemudian mula jadi Nablon menitahkan Siraja Odap-odap turun ke bumi untuk menjadi suami Siboru Deakparujar. Dari perkawinan Siboru Deakparujar dengan Siraja Odap-Odap, lahirlah seorang putera yang bernama Siraja Ihat Manusia, dan seorang puteri yang bernama Siboru Ihat Manusia. Kedua manusia tersebut kawin dan kemudian mendapat tiga orang putera. Masing-masing bernama Siraja Miok-Miok. Patundal Nabegu dan Siraja Lapas-Lapas. Dari keturunan Siraja Miok-Miok kemudian hari lahirlah Siraja Batak yang dipandang sebagai nenek moyang orang batak.

Menurut ulasan dari seorang tokoh sejarahwan Z. Pangaduan Lubis, dosen pada Fakultas Sastra USU Medan dalam bukunya “Kisah Asal-Usul Marga di Mandailing”. (tahun 1986 hal. 4-6), menyatakan selanjutnya bahwa di dalam Tongga-tongga tersebut terdapat kata-kata : Disitulah (di Tanah Mandailing) bertamasya Siboru Deakparujar. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa kemungkinan sekali justru di tanah Mandailing itu pulalah Siboru Deakparujar turun dari kayangan. Sebab Tongga-tongganya menyebutkan “dari situlah (dari tanah Mandailing) tangga jalan ke atas” (kayangan). Oleh karena itu, tidak tertutup pula kemungkinan bahwa di tanah Mandailing pulalah Siboru Deakparujar kawin dengan Siraja Odap-Odap. Selanjutnya keturunan mereka lahir dan berkembang di tempat tersebut. Kemudian dapat dikemukakan hipotesis, bahwa setelah keturunan Siboru Deakparujar dan SIraja Odap-Odap berkembang ditanah Mandailing, generasi selanjutnya dari keturunan mereka, seperti misalnya Siraja Batak (keturunan generasi ke empat dari Siraja Miok-Miok, atau generasi ke empat dari keturunan Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-Odap) pindah ke tempat dari keturunan tanah Mandailing dan pergi ke tanah Toba.

Kemudian ditempat itu ia berkembang. Dengan kata lain, berdasarkan penafsiran terhadap Tongga-Tongga Siboru Deakparujar, nenek moyang Siraja Batak, mulai dari Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-Odap sampai kepada Guru Tantan Debata, yaitu ayah dari Siraja Batak bertempat tinggal di tanah Mandailing, dan Siraja Batak sendiri, setelah besar kemudian meninggalkan tempat tersebut, dan pergi ketempat lain (tanah Toba). Demikianlah hipotesis yang dapat ditarik dari penafsiran atas motologi Siboru Deakparujar dan Tongga-Tongga seperti yang telah diuraikan diatas.

Sebagai mana yang telah dikemukakan terdahulu dalam tulisan ini nama Mandailing sudah disebut di dalam Kitab Nagarakertagama pada pertengahan abad ke XIV dan yang terdapat didalam Tongga-Tongga Siboru Deakparujar, kapan terciptanya atau diciptakan Tongga-Tongga Siboru  Deakparujar ini Batara Sangti sebagai pengarang buku tersebut tidak menjelaskannya. Namun demikian diduga tentu sesudah kelahiran Siraja Batak (1305 M) yakni sekitar abad ke XIV juga, dimana mungkin hampir bersamaan pula waktunya dengan pencatatan yang dilakukan oleh Prapana sebagai mana yang terdapat di dalam kitabnya Negarakertagama tersebut diatas.

Selasa, 28 Mei 2019

ASAL MULA NAMA MANDAILING BAGIAN 2


ASAL MULA NAMA MANDAILING
BAGIAN 2

Selain dari pada yang tercantum di dalam kakawin Negarakertagama kemasyhuran nama Mandailing juga telah diagungkan oleh masyarakat Batak Toba-Tua semenjak dari zaman dahulu kala, yakni semenjak dari zaman Siboru Deakparujar. Dapat diketahui bahwa Siboru Deakparujar adalah tokoh mitologi dalam kebudayaan Toba-Tua, dan menurut mitologi tersebut Siboru Deakparujar adalah Puteri Debata Mulajadi Nabolon yang dititahkannya turun dari benua atas dengan membawa sekepal tanah untuk menempa bumi diatas lautan susunan kata-kata pemujaan ini terdapat di dalam “Tonggo=tonggo Siboru Deakparujar” yaitu suatu doa yang disusun secara puitis, dan diucapkan pada waktu melaksanakan suatu upacara adat yang besar maupun yang kecil. Kemudian tongga-tongga Siboru Deakparujar ini cukup padat isinya sebagai kesusastraan Toba-Tua yang klasik dan terdiri dari 10 pasal sebagai dasar/ fundamen atau sumber dari falsafah kebudayaan kemasyarakatan dan kerohanian dari “Dalihan Natolu”.
Untuk jelasnya Tongga-Tongga Siboru Deakparujar tersebut mari kita kutip dari karya besar Batara Sangti dalam Bukunya “Sejarah Batak” (tahun 19/7 hal. 277-278), antara lain berbunyi sebagai berikut :

Baen ma gondang ni Ompunta. Tuan Humara-Hiri, Si Humara Na Boru, par-aji tamba-tua, par-aji pulung-pulungan; sinonduk ni Ompunta Sibaso Nabolon, na marsigantung ditali siubar, na meat di mombang boru.




 Gambar 1 : Gambar Candi di daerah Portibi di Padang Lawas, di taksir didirikan pada sekitar abad ke XI oleh suku “Indra Cola” dari Asia Selatan. Kini Candi yang indah dan pernah mengharumkan nama daerah ini menunggu kehancurannya bila tidak segera dipugar

Sian tano hondur, tano malambut, tano hulambu jati, sian tano padang bakkil Mandailing, tano siogung-ogung; parsiragan ni tano, pardomuan ni aek; Sian i ma dalan laho tu ginjang, partuatan ni Ompunta : Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon tu banua tonga on. Disi ma parangin-anginan ni Ompunta “Siboru Deakparujar “sideak uti-utian sigodang ujar-ujaran “
1.    Na manjadihon                             :  Gana na so boi toloon, bulan naso boi oseon
2.    Sian I ma mula ni                         :  Dung-dang
3.    Mula ni                                         :  Sahala
4.    Mula ni                                         :  Harajaon
5.    Mula ni                                         :  Gantang Tarajuan, Hatian pamonari
6.    Mula ni                                         :  Pangga si sada ihot
7.    Mula ni                                         :  Ninggala sibola tali
8.    Sian I ma mula ni                         :  Boli ni boru muli dohot si namora ni anak mangoli
9.    Mula ni                                         :  Goar ni bao na so boi dohonon
10. Nunga disihathon I                      :  Di inggor ni ruma, dipohon di batu barani dohot di pinggol ni hoda Debata

Alih bahasa secara bebas dan terbatas ke bahasa indonesia



Sumber : Buku "Sejarah Marga-Marga", Oleh Prof. Dr. HARUN RASYID LUBIS (Seorang Guru Besar di Universitas Sumatera Utara)
BERSAMBUNG ……..

Senin, 27 Mei 2019

ASAL MULA NAMA MANDAILING


ASAL MULA NAMA MANDAILING

Di dalam sumpah “Palapa” Gajah Mada pada syair ke 13 Negarakertagama hasil karya Prapanca yang mermasyur itu nama Mandailing sudah tercantum dengan mencatat ekspansi Majapahit sekitar tahu 1287 Caka (1365 M) kebeberapa wilayah di luar pulau jawa.
Sebagai mana dikatakan oleh H. Mhd. Said, seorag sejarahwan yang berkecimpung dalam duia kejurnalistikan pada sebuah hariaya bernama “Waspada” terbitan pagi di Medan semenjak dari tahu 1947. Untuk bagian Sumatera misalnya salah satu diantaranya disebut Mandailing. Kakawi terebut dalam tulisan tangan ditemukan di Puri Cakranegara Lombok, diterbitkan dengan cetakan dalam bahasa dan huruf aslinya pertama kali di tahun 1902 oleh sarjana Belanda Dr. J. Brandes dengan judul bukunya “ Negarakertagama. Loftdicht van Prapanca op Koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Majapahit.
Selanjutnya H. Mhd. Said menambahkan dari studi Brandes, juga sarjana H. Kern, yang kemudian dapat dibaca dalam buku Muhammad Yamin SH berjudul “Gajah Mada” dalam huruf Latin bahasa Kawi dapat dikutip sebagian sebagai berikut :

Lwir ning nusa pronuso pramuka sakahawat ksoniri malayu/ning Jambi, mwang Palembang karitang I Teba len Dharmmacraya tumut/Kandis Kahwas Manangkabwa ri Siyak I Rekan Kampar mwang I pane/ Kampe Harw athawe Mandahiling I Tamiham Parllak mwang I Barat//

sebagai mana terlihat pada teks tersebut ekspansi pasukan majapahit ke Melayu di Sumatera merata sejak Jambi, Palembag, Muara Tebo, Darmasraya, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Panai, Pulau Kampar, Haru, Mandahiling atau jelasnya Mandailing. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa nama Mandailing telah terlukis indah pada syair ke-13 Negarakertagamanya Prapanca yang agung seperti tersebut diatas. Diduga wilayah Mandailing ini pada zaman itu telah mempunyai masyarakat yang homogen, yaitu masyarakat yang tumbuh dan terhimpun dalam satu ketatanegaraan kerajaan dengan kebudayaannya yang sudah tinggi pada zaman dahulu kala. Terbukti dari ekpansi pasukan kerajaan Majapahit tersebut pada sekitar tahun 1287 Caka (1365 M), dimana salah satu dari syairnya disebut nama Mandailing. Dengan demikian bila dianalisa lebih dalam nama Mandailing di Nisantara ini benar hanyalah yang berlokasi di Tapanuli Selatan Sumatera Utara saja.
Sebenarnya bukan hanya itu saja jauh sebelum atau berabad-abad sebelum zaman Prapanca tersebut di atas di daerah Mandailing telah tumbuh masyarakat yang berbudaya tinggi. Hal ini dapat diyakini pula dari catatan sejarah atas serangan Rajendra Cola dari India pada tahun 1023 Masehi atau abad ke-XI M ke kerajaan Panai. Dimana dikatakan bahwa kerajaan panai tersebut berlokasi di bagian hulu sengai Barumun, atau di sepanjang aliran sungai Batang Pane mulai dari Binanga (pertemuan sungai Barumun dengan sungai Batang Pane) termauk daerah Portibi di Gunung Tua sehingga sampai ke lembah pegunungan Sibualbuali di daerah Sipirok. Ditandai pula dengan adanya anggota masyarakat yang bermarga “Pane” di daerah Sipirok, Angkola dan Mandailing. Salah satu permukiman tua marga Pane ini terdapat di Pakantan wilayah kerajaan kerajaan marga Lubis Singasoro pada zaman dahulu bernama “Hutalobu Pane”.
Diduga sebagian kelompok marga Pane ini adalah yang bermigrasi dari sepanjang aliran sungai Batang Pane tersebut, atau dari daerah Sipirok dan Angkola atas desakan dari serangan pasukan Rajendra Cola tersebut di atas. Seiring dengan cerita ini H. Mhd. Said melanjurka dalam bukunya “Sutan Kumala Bulan” (hal. 10) dan dikutip seperlunya sebagai berikut :

Diperhatikan dari adanya bangunan bersejarah terdiri dari biara-biara tua di Tapanuli Selatan, khususnya Padang Lawas, dapat diyakini bahwa pertumbuhan masyarakat yang berbudaya di wilayah itu masih berabad-abad lebih tua dari zaman Prapanca. Serangan Rajendra Cola dari India tahun 1023-24 M, antara lain ke Panai misalnya, menunjukkan perluya suatu ekspedisi militer untuk menaklukkan kerajaan tersebut. Panai diperkirakan lokasinya di hulu sungai Barumun, ditandai dengan adanya nama Batang Pane dan anggota masyarakat yang bermarga Pane di Angkola Sipirok.

Sumber : Buku "Sejarah Marga-Marga", Oleh Prof. Dr. HARUN RASYID LUBIS (Seorang Guru Besar di Universitas Sumatera Utara)
BERSAMBUNG ……..

Kamis, 09 Mei 2019

NAMORA PANDE BOSI (SILANGKITANG & SIBAITANG) BAGIAN 4


NAMORA PANDE BOSI
(SILANGKITANG & SIBAITANG)
BAGIAN 4


Bersamaan dengan upacara tersebut di atas juga Namora Raya sebagai “Kahanggi” dari Sutan Pulungan, diresmikan pulalah perkawinannya dengan adik perempuan dari Datu Janggut Parpayung Aji (yang menurunkan marga Rangkuti), oleh sebab itulah mulai dari saat itu marga Rangkuti menjadi “Mora” pertama dari marga Lubis, dan sebaliknya marga Lubis adalah menjadi “Anak Boru pertama dari marga Rangkuti. Dengan demikian dimana yang tadinya kelompok Datu Janggut Marpayung Aji yang terkenal dengan “orang-orang yang ditakuti” oleh karena kehebatan dari ilmu-ilmu mistiknya, dengan perkawinan menurut adat-istiadat “Markoum Marsisolkot” maka hapuslah semua permusuhan dan pertikaian di antara mereka, kemudian berganti dengan parkaum kerabatan yang saling mengasihi dan bantu membantu. Dan dengan upacara perkawinan yang bersejarah ini lengkaplah pemakaian adat-istiadat “Markoum Marsisolkot” yang baru diresmikan oleh seluruh raja-raja Mandailing.

Bila diamati dengan seksama keagungan dari adat-stiadat Mandailing yang bernama adat “Markoum Marsisolkot”, ialah karena dapat dijadikan sebagai alat “pemeratu” di Mandailing. Oleh karena tiga kelompok (marga) sekaligus dapat mengkat ataupun terikat oleh tali hubungan parkaum kerabatan. Dan dengan terjadinya hubungan perkawinan di dalam lapisan masyarakat maka akan terjadi pulalah hubungan atau ikatan tali parkaum-kerabatan di antara lapisan masyarakat tersebut, sehingga dengan sendirinya akan terjadi pulalah hubungan yang manis yang saling hormat menghormati dan bantu membantu (gotong royong) diantara setiap individu, oleh karena terikat dengan peraturan-peraturan yang telah digariskan oleh adat-istiadat Mandailing “ Markoum Marsisolkot” itu sendiri.

Untuk menceritakan asal-usul marga-marga orang Mandailing yang asli mempunyai keunikan tersendiri oleh karena akibat keterkaitannya antara marga yang satu dengan marga lainnya. Hal ini disebabkan oleh dilemma perkaum-kerabatannya yang menarik dan dapat menjangkau kesetiap marga-marga yang terdapat di daerah itu. Bahkan lebih jauh lagi dimana pola mekanisme kehidupan masyarakatnya yang bergerak hidup dan dapat menjangkau kesetiap individu masyarakat di Mandailing. Oleh karena posisi fungsional setiap individu dalam menjalankan adat-istiadatnya yang bersifat tentatif dalam pengertian bahwa posisi seseorang dalam pemeran adat akan dapat bertukar ditempati oleh orang lain, misalnya komponen (Kahanggi, Mora dan Anak Boru) dan demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itulah bila menceritakan atau menuliskan salah satu marga rasanya kurang efisien jika tidak mengikut sertakan marga-marga lainnya. Misalnya bila menceritakan marga  Lubis harus diikutsertakan marga Nasution dan marga Rangkuti, atau bila menceritakan marga Nasution harus diikutsertakan marga Pulungan dan marga Hasibuan serta marga Harahap, demikian pula sebaliknya dan seterusnya.

Dengan menaburkan sedikit sebagai bumbunya cerita tentang adat-istiadat Mandailing “Markoum-Marsisolkot” atau yang selalu disebut dengan adat “Dalihan Natolu” kepada cerita tentang asal-usul marga-marga terebut di atas barangkali rasanya akan lebih sempurna. Misalnya seumpama makanan ketan (pulut) bila dibarengi dengan pisang goring rasanya akan lebih nikmat, miskipun sebenarnya tujuan kita bukanlah hendak makan pisang goring, akan tetapi bila kedua-duanya sekaligus dihidangkan tentu lebih asyik untuk menekuninya.

Kisah asal-usul marga-marga orang Mandailing merupakan suatu keagungan yang mempesona terlebih-lebih bagi keturunannya yang dirangkum dengan adat istiadatnya yang telah menghiasi dan meninggikan derajat masyarakatnya semenjak dari zaman dahulu kala, yakni semenjak dari perkawinan Si Baroar Na Sakti (yang menurunkan marga Nasution) dengan Si Rumondang Bulan Puteri Sutan Pulungan (atau yang menurunkan marga Pulungan) sekitar abad ke XIV.

Untuk mengupayakan kelestariannya baik tentang asal-usul marga-marganya maupun tentang adat-istiadatnya perlu dituliskan sebagai “Parmanoan” atau kenang-kenangan buat keturunannya dan para pembaca yang budiman dengan memperlihatkan sekilas pandang tentang “Sejarah marga-marga yang asli dari tanah Mandailing.

Sumber : Buku "Sejarah Marga-Marga", Oleh Prof. Dr. HARUN RASYID LUBIS (Seorang Guru Besar di Universitas Sumatera Utara)
BERSAMBUNG ……..

Selasa, 07 Mei 2019

NAMORA PANDE BOSI (SILANGKITANG & SIBAITANG) BAGIAN 3

NAMORA PANDE BOSI
(SILANGKITANG & SIBAITANG)

BAGIAN 3



Dari ketiga kelompok inilah yang disebut dalam adat-istiadat Mandailing dengan adat “Markoum Marsisolkot”. Oleh karena apabila salah satu diantaranya tidak diikut sertakan dalam sesuatu mengadakan upacara adat Mandailing, maka upacara adat tersebut tidak akan tercapai atau terlaksana. Dengan Perkataan lain akan batal sama sekali. Oleh sebab itulah ketiga kelompok ini dituntut dan diwajibkan agar selalu rukun dan damai dan menjauhi segala sesuatu yang mengakibatkan pertikaian, dan selalu tolong menolong dalam segala sesuatu permasalahan.
Dikemudian hari adat-istiadat “Markoum Marsisolkot” ini disebut orang juga dengan adat “Dalihan Na tolu”, dan bila diterjemahkan bebas ke bahasa Indonesia artinya : Dalihan =Batu Tungku, Na Tolu = Yang Tiga. Maksudnya tungku yang tiga (tiga batu tungku), dan dapat pula diartikan tiga batu tungku sejerangan menjungjung satu wadah atau lembaga adat-istiadat Mandailing Natal yang bernama adat Markoum Marsisolkot”.
Setelah Namora Raya Mengumpulkan seluruh raja-raja Mandailing di Aruaya Sampean Roburan Tua, kemudian setelah mereka menciptakan dan meresmikan adat-istiadat Mandailing yang mereka namai dengan adat “Markoum Marsisolkot”, maka dipakaikanlah kepada si Baroar Naakti (yang menurunkan marga Nasution) sebagai pemakai yang pertama adat istiadat markoum marsisolkot tersebut. Seperti diketahui dimana sebelumnya Namora Raya dalam menjalankan diplomasinya untuk meredakan dan menghapuskan pertikaian antara Sutan pulungan dengan Si Baroar Nasakti, Namora Raya telah memohon kepada Sutan Pulungan agar anak gadisnya yang bernama puteri Rumondang Bulan dijadikan permaisuri Si Baroar Nasakti.
Meskipun pada mulanya Sutan Pulungan merasa berat hati untuk memberikan anak gadisnya tersebut menjadi permaisuri Si Baroar Nasakti, apalagi peperangan yang “marrugup-rugup” (peperangan yang dahsyat) baru saja usai dan darah para korban belum sempat kering. Tetapi dengan bujukan dan pengarahan dari Namora Raya akhirnya Sutan Pulungan mengabulkannya juga, dengan syarat puteri Rumondang Bulan anak gadisnya dibawa dahulu ke tempat Nakora Raya di Aruaya Sampean Roburan Tua, dan dari sanalah “dipabuat” maksudnya dari tempat Namora Rayalah diresmikan adat-istiadatnya. Setelah itu barulah kemudian puteri Rumondang Bulan dijemput oleh Si Baroar Nasakti dengan adat istiadat pula untuk dibawa ke istananya di Panyabungan Tonga.
Kemudian diulangilah kembali “pataonkon” (mengundang) seluruh kerajaan bersama dengan handai tolan, untuk meresmikan perkawinan ini dengan sangat meriah dalam bentuk tatakrama adat-istiadat Mandailing “Markoum Marsisolkot”, sekaligus untuk meresmikan kerajaan Si Baroar Nasakti dengan nama “harajaon” (gelar) “Sutan Diaru”. Dengan demikian resmilah sudah kerajaan Si Baroar Nasakti gelar Sutan Diaru (yang menurunkan marga Nasution Godang) di Panyabungan Tonga. Kecuali Sutan Pulungan raja kerajaan Huta Bargot tidak dapat datang menghadiri perayaan besar tersebut, oleh karena masih “Mardangol (berduka cita) atas korban-korban yang banyak diderita oleh pasukannya. Sehingga mulai dari saat itu pihak “Mora” terutama dari pihak orang tua si anak gadis “marpantang” (terlarang) untuk datang menghadiri upacara perkawinan anak gadisnya ke tempat “ANak Boru” nya.
Dengan peresmian upacara perkawinan yang pertama menurut adat istiadat Mandailing “Markoum Marsisolkot” ini, maka Si Baroar Nasakti gelar Sutan Diaru harus menghormati memuliakan “Mora” nya Sutan Pulungan. Demikian pula dengan Sutan pulungan harus menyayangi dan menghormati “Anak Boru” nya sesuai dengan fungsinya, apalagi dari golongan yang mempunyai kedudukan di masyarakat yang disebut dengan “Anak Boru Haholongan” na marsoit marbulele dohot na marjambang mareor-eor (maksudnya : yang mempunyai tahta/kedudukan).

Sumber : Buku "Sejarah Marga-Marga", Oleh Prof. Dr. HARUN RASYID LUBIS (Seorang Guru Besar di Universitas Sumatera Utara)
BERSAMBUNG ……..

Minggu, 05 Mei 2019

NAMORA PANDE BOSI (SILANGKITANG & SIBAITANG) BAGIAN 2

NAMORA PANDE BOSI
(SILANGKITANG & SIBAITANG)

BAGIAN 2

Dikemudian hari setelah ayahanda mereka Namora Pande Bosi dan Ibundanya Puteri Lenggana boru Dalimunte meninggal dunia. Sutan Bugis dan Sutan Borayun pindah ke Lobu Layan kemudian mereka mendirikan kerajaan di tempat ini. Tetapi pada generasi selanjutnya keturunannya diserang oleh kerajaan-kerajaan disekitarnya dan sebagian keturunannya pergi ke daerah Barus manjadi marga Lubis di tempat ini. Dan sebagian lagi pergi ke guluan Gajah (Kerajaan marga Siregar) di daerah Sipirok dank e Portibi di daerah Padang Bolak. Di Guluan Gajah mereka diterima oleh Raja Hatunggal, yaitu yang menurunkan marga Siregar di daerah Muara Sipirok, dan memberikan tempat di bagian sudut dari kerajaan ini dan lama-kelamaan kelompok mereka ini menjadi marga “Hutasuhut”. Kelompok yang sebagian lagi atau yang pergi ke Portibi di daerah Padang Bolak, mereka ini menempati sekitar candid an lama-kelamaan menjadi marga Harahap. Diduga di belakang hari kelompok ini terdeak oleh serangan pasukan Majapahit sekitar abad ke XIV, lalu sebagian dari mereka pergi ke daerah Mandailing dan menamakan diri endiri dengan marga “Tambak”, dalam bahasa Mandailing artinya = tempat penyembahan (candi). Kemudian menurut ceritanya kelompok ini lama-kelamaan menjadi marga “Harahap Mataniari” di Mandailing. Selain dari pada itu kelompok yang lain yang datang ke daerah Mandailing pada zaman itu turut juga marga “Dasopang”, tetapi lama-kelamaan marga inipun dikemudian hari menjadi marga “Hasibuan”. Barangkali nkelompok-kelompok ini merobah nama marganya adalah karena takut diketahui oleh pasukan Majapahit tersebut diatas. Kedua keompok marga-marga inilah menurut ceritanya yang mengangkat atau menobatkan Si Baroar Nasakti (Nenek Moyang Marga Nasution) di Panyabungan Tonga menjadi raja ditempat itu pada zaman dahulu kala. Terbukti pula dari nama “Harajaon” Si Baroar Nasakti ialah “Sutan Diaru”. Mungkin mereka ini menamakan SI Baroar “Sutan Diaru” adalah untuk mengenang kerajaan mereka yang bernama kerajaan “Aru” yang sudah hancur di Padang Bolak (Padang Lawas).
Demikian pulaSi Langkitang dan Si Baitang yang mematuhi petunjuk (petuah) dari ayahandanya Namora Pande Bosi yang pergi ke Mandailing dari daerah Angkola, dengan menelusuri sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis, maka sampailah mereka berdua pada suatu tempat dimana dua buah anak sungai yang bertentangan muaranya. Oleh sebab itulah nama permukiman ini (dalam bahasa Mandailing) disebut “Muara Patontang” dan pemukiman ini disebut juga “Singengu” oleh karena kebetulan letaknya di muara sungai Singengu. Kemudian sekitar 5 Km arah ke hulu dari sungai Batang Gadis ini terdapat pula permukiman adiknya SI Baitang yang bernama “Muara Partomuan” , juga di tempat ini didapat pula seperti pada permukiman abangnya yakni terletak diantara dua buah sungai yang bertentangan muaranya yaitu sungai Ulu Pungkut dan anak sungai Aek Sampuran.
Di belakang hari sekitar abad ke XIV salah seorang cucunya bernama Namora Raya, yakni sundut ke V dari Si Langkitang atau keturunan ke XI dari atas diutus oleh ayahandanya Jabuek Nangge dari kerajaan Singengu, untuk mengamankan daerah Mandailing Godang dari kekacauan-kekacauan memperebutkan wilayah. Sesampainya Namora Raya ke tempat itu tempatnya di Pagaran Singkut atau Aruaya Sampean Roburan Tua dekat perkampungan Sirambas yang sekarang, dimana pada saat itu berkebetulan sedang berkecamuknya peperangan yang “marrugup-rugup” (peperangan yang dahsyat) antara kelompok Si Baroar Nasakti melawan pasukan kerajaan Sutan Pulungan (yang menurunkan marga Pulungan) dari Huta Bargot. Peperangan yang paling dahyat yang pernah terjadi di daerah Mandailing telah mengambil korban yang tiada terhingga. Oleh sebab itulah barangkali Namora Raya cepat-cepat turun tangan untuk mendamaikan peperangan ini, agar korban yang jatuh tidak bertambah lagi. Akhirnya kedua kelompok yang berperang mengadakan suatu semacam case fair atau semacam gencatan senjata. Pada saat ini pulalah Namora Raya menjalankan diplomasinya untuk mengumpulkan semua raja-raja yang berkuasanpada saat itu di daerah Mandailing, untuk menciptakan dan mengesahkan suatu adat-istiadat Mandailing yang bernama adat “Markoum Marsisolkot”. Markoum artinya berkaum kerabat dengan orang yang berlainan marga, sedangkan Marsisolkot artinya mendekatkan yang sudah dekat atau kasih mengasihi diantara yang satu marga. Dengan adat-istiadat Markoum Marsisolkot inilah sebagai” alat pemersatu” yang paling ampuh untuk mendamaikan diantara yang bersengketa pada seluruh lapisan masyarakat, termasuk pertikaian antara kelompok Si Baroar Nasakti dengan kerajaan Sutan Pulungan pada zaman dahulu kala.
Bila kita perhatikan hiasan-hiasan rumah adat dari daerah Mandailing, maka pada bagian atanya akan terukir 13 macam lambing dalam figura segi tiga sama sisi yang disebut dengan “bindu Matogu”. Semua lambing-lambnag tersebut mempunyai arti dan makna tersendiri. Sebagai figura yang melingkari semua lambang-lambang tersebut yang berbentuk segi-segi sama sisi adalah melambangkan adat-istiadat “ Markoum Marsisolkot”. Maksudnya terdiri dari tiga kelompok yang berlainan marga rangkul-merangkul atau harus pada seia sekata menjadi satu. Ketiga komponen kelompok yang berlainan marga itu adalah sebagai berikut :
1.    KAHANGGI
2.    MORA
3.    ANAK BORU

Kahanggi :
Yang dikatakan komponen kelompok Kahanggi adalah kita sendiri dengan saudara-saudara kita baik yang terdiri dari satu ibu dan satu bapak atau tidak, tetapi haruslah dari kelompok yang satu marga.

Mora
Yang dikatakan komponen kelompok Mora adalah dari kelompok tempat pengambilan anak gadis dalam perkawinan, atau orang tua dan saudara-saudara dari pihak istri kita.

Anak Boru
Yang dikatakan kelompok komponen Anak Boru adalah tempat pemberian anak-anak gadis kita dalam pekawinan, atau pihak orang-orang tua dan saudara-saudara dari pihak istri kita.

 Sumber : Buku "Sejarah Marga-Marga", Oleh Prof. Dr. HARUN RASYID LUBIS (Seorang Guru Besar di Universitas Sumatera Utara)

BERSAMBUNG ……..

NAMORA PENDE BOSI (SILANGKITANG & SIBAITANG)


NAMORA PANDE BOSI
(SILANGKITANG & SIBAITANG)


Semenjak dari zaman dahulu kala masyarakat Mandailing terutama yang bermarga Lubis baik keturunan Lubis Muara Patontang (Lubis Singengu) maupun keturunan Lubis Muara Partomuan (Lubis Singasoro), telah mengakui dan menyakini bahwa nenek moyang mereka bernama Daeng Malela gelar Namora Pande Bosi. Dimana menurut ceritanya nenek moyang ini berasal dari tanah Bugis Sulawei Selatan.
Ditaksir sekitar abad ke X dua orang bersaudara berlayar dari daerah tersebut untuk mencari pengalaman menuju ke Negeri Cina tetapi malang bagi salah seorang diantaranya yang bernama Angin Bugis tidak dapat melanjutkan pelayarannya karena dihadang oleh topan yang sangat besar, sehingga terdampar ke daerah Palembang, setelah perahu mereka kembali mengutara beberapa hari mungkin karena satu dan lain hal kemudian mereka memasuki sungai Barumun. Diduga nenek moyang ini adalah seorang perantau yang berhati keras, yaitu dari pada surut kembali pulang ke Kampung Halaman sebelum cita-citanya tercapai lebih baik berkubur ditengah lautan. Akan tetapi nenek moyang yang satu ini mengambil kesimpulan lain, dimana pada saat-saat perahunya tidak memungkinkan lagi dapat mengarungi lautan lepas lalu membelokkan kemudinya memasuki pedalaman Padang Bolak (Padang Lawas). Pada ketika itu hanya sengai Barumun inilah satu-satunya sungai sungai sebagai urat nadi perhubungan di daerah itu, yang dapat dilayari samapi ke Huristak. Binanga dan Portibi di Gunung Tua. Bahkan pada zaman itu dapat pula dilayari sampai ke Hutapanopan dekat kota Sibuhuan yang sekarang.
Di hutapanopan (sekarang bernama Hutanopan) sebagai pemukiman pertama dari Angin Bugis” untuk mengembangkan keturunannya. Terbukti dari namanya “Hutapanopan” dalam bahasa Mandailing (Huta=Kampung), sedangkan “panopan” (=menempa besi). Jadi “Huta (kampong tempat menempa besi), sedangkan orang yang mengerjakannya disebut “Pande Bosi”. Pada generasi ke tiga dari Angin Bugis yakni cucunya yang bernama Daeng Surya gelar Namora Pande Bosi I, kemudian pindah ke Ruar Tonga masih dalam lingkungan Padang Bolak. Diduga perpindahan mereka ini atas desakan dari suku Munda yang dating dari India Selatan untuk mengembangkan agama Hindu. Terbukti dari peninggalan mereka berupa candi-candi purba yang banyak terdapat di daerah ini. Dan menurut ceritanya Namora Pande Bosi I ini sangat terkenal oleh karena kepandaiannya membuat ukir-ukiran dari bahan besi. Oleh sebab itulah barangkali nenek moyang ini dijulu “Namora”, yakni sebuah nama penghormatan yang diberikan kepada seorang yang dimuliakan, misalnya seperti Profesor atau Doktor pada zaman sekarang. Akhirnya beliau bernama “Namora Pande Bosi”, yang dapat dibuktikan pula dengan peninggalan karyanya yakni sebuah patung yang sangat indah dan terbuat dari bahan tembaga. Dan menurut ceritanya pada zaman dahulu kala patung ini ditempatkan pada sebuah candi di Portibi, untuk disembah oleh penganut ummat Hindu pada waktu itu. Kini patung tersebut masih dipelihara dengan baik di Museum Pusat Jakarta.
Setelah Daeng Surya gelar Namora Pande Bosi I ini hidup berkembang di Ruar Tonga Padang Bolak, kemudian hari salah seorang cucu dari cucunya yang bernama Daeng Malela gelar Namora Pande Bosi ke III muncul di kerajaan Dalimunte di Sigalangan ANgkola, kemudian menjadi menantu dari kerajaan tersebut setelah mengawini puteri Lenggana boru Dalimunte, yakni puteri raja Isori Dalimunte sebagai raja yang pertama dikerajaan tersebut. Setelah beberapa lama kemudian lahir pulalah puteranya laki-laki, yang pertama bernama Sutan Bugis dan yang kedua bernama Sutan Borayun. Tetapi yang patut di ingatkan dan diketahui sebelumnya ialah, bahwa Namora Pande Bosi ini semasih berada di Ruar Tonga telah mengawini seorang gadis yang bernama “Dayang Surto Alus Bonang Nabontar”, puteri dari Datuk Bondaro Lobi dengan isterinya Dayang Rante Omas. Dari hasil perkawinan ini mereka telah dikaruniai Tuhan dengan dua orang anak laki-laki kembar, yang pertama bernama Si “Langkitang” dan yang kedua bernama Si “Baitang”, setelah menjelang dewasa keduanya diutus oleh Namora Pande Bosi ayahandanya pergi ke Mandailing dan kemudian menurunkan marga Lubis Mura Patontang (Lubis ingengu) dan marga Lubis Muara Partomuan (Lubis Singasoro), di tempat itu seperti awal dari cerita ini.

Sumber : Buku "Sejarah Marga-Marga", Oleh Prof. Dr. HARUN RASYID LUBIS (Seorang Guru Besar di Universitas Sumatera Utara)

BERSAMBUNG ……..